novel yang sering gua bilang novel four season ini bikin sedih gila bgt deh :) hahaha :D
disini gua cuman mau berbagi salah satu cerita dari novel nya aja nih ,lets read~
For those who always believe in me,
thank you….
Prolog
Dulu kalau aku tak begitu, kini bagaimana aku?
Dulu kalau aku tak di situ, kini di mana aku?
Kini kalau aku begini, kelak bagaimana aku?
Kini kalau aku di sini, kelak di mana aku?
Tak tahu kelak ataupun dulu
Cuma tahu kini aku begini
Cuma tahu kini aku di sini
Dan kini aku melihatmu
KONON ketika seseorang dalam keadaan hidup dan mati, ia akan bisa melihat potongan-potongan kejadian dalam hidupnya, seperti menonton film yang tidak jelas alur ceritanya. Benarkah begitu?
Oh ya, ia sedang mengalaminya. Ketika tubuhnya terlempar ke sana-sini, pandangannya mendadak gelap, namun anehnya ia kemudian bisa melihat wajah seseorang dengan jelas. Ia juga bisa mendengar suaranya.
Betapa ia sangat merindukannya sekarang, ingin bertemu dengannya, ingin berbicara dengannya. Ada yang harus ia katakan pada orang itu. Ia harus memberitahunya ia rindu.
Hanya sekali saja…
Kalau boleh, ia ingin mengatakannya sekali saja…
Kalau boleh, ia ingin melihatnya sekali saja… 4
Tapi tidak bisa…
Suaranya tidak bisa keluar…
Ia tidak punya tenaga untuk bicara…
Satu
“SEKARANG aku masih di jalan… Mm, baru pulang kantor… Aku juga tahu sekarang sudah jam sepuluh… Ya, jam sepuluh lewat delapan belas menit. Terserahlah.”
Sandy melangkah perlahan. Sebelah tangannya memegang ponsel yang ditempelkan ke telinga, dan tangan yang sebelah lagi mengayun-ayunkan tas tangan kecil merah. Ia mengembuskan napas panjang dengan berlebihan dan mengerutkan kening. Saat ini orang terakhir yang ingin diajaknya bicara adalah Lee Jeong-Su, tapi laki-laki itu malah meneleponnya dan bersikap seperti kekasih yang protektif.
“Jeong-Su, sudah dulu ya? Aku lelah sekali,” Sandy menyela ucapan Lee Jeong-Su dan langsung menutup telepon. Sekali lagi ia mengembuskan napas panjang, lalu menatap ponselnya dengan kesal.
Kenapa hari ini muncul banyak masalah yang tidak menyenangkan? Tadi pagi ia sudah bermasalah dengan salah satu klien perusahaan, kemudian diomeli atasannya dan akhirnya harus lembur sampai selarut ini.
Sandy semakin kesal begitu mengingat apa yang sudah dialaminya sepanjang hari. Tapi ia terlalu lelah untuk marah-marah. Seluruh tulang di tubuhnya terasa sakit dan otaknya sudah tidak bisa disuruh berpikir. Lagi-lagi ia mengembuskan napas panjang.
Ini bukan pertama kalinya Sandy harus bekerja sampai larut malam, tapi hari ini ia sudah memutuskan akan berhenti bekerja untuk perancang busana itu. Pekerjaannya sungguh-sungguh memakan waktu dan tenaga sehingga tidak ada lagi tenaga yang tersisa untuk berkonsentrasi pada kuliahnya di pagi hari.
Ia berhenti melangkah dan mendesah. “Bisa gila aku,” gumamnya pada diri sendiri. 6
Sandy memandang sekelilingnya. Kota Seoul masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Bangunan-bangunan di sepanjang jalan seakan sedang berlomba-lomba menerangi seluruh kota, membujuk orang-orang untuk menikmati indahnya suasana malam musim panas di ibukota Korea Selatan yang menakjubkan itu. Meskipun sudah bertahun-tahun menetap di Seoul, Sandy masih terkagum-kagum pada suasana kota ini. Jam memang sudah menunjukkan pukul sepuluh lewat, namun jalanan masih dipenuhi pejalan kaki dan mobil-mobil yang berlalu-lalang. Aroma makanan tercium dari restoran Jepang di depan sana, lagu disko terdengar samar-samar dari toko musik di sampingnya, suara orang-orang yang berbicara, berteriak, dan tertawa.
Tiba-tiba Sandy merasa kepalanya pusing. Lalu pandangannya berhenti pada toko makanan kecil di seberang jalan. Setelah merenung sesaat, ia mengangguk dan bergumam, “Baiklah,” seolah menyerah pada perdebatan yang dia lakukan seorang diri.
Sandy menyeberangi jalan dengan langkah cepat, secepat yang mungkin dilakukan sepasang kaki yang belum beristirahat selama delapan jam terakhir, dan masuk ke toko itu. Setelah memberi salam kepada bibi pemilik toko yang sudah lama dikenalnya, Sandy langsung berjalan ke rak keripik.
“Nah, Soon-Hee, ada masalah apa lagi di kantor?” tanya bibi pemilik toko setelah melihat lima bungkus besar keripik kentang yang diletakkan Sandy di meja kasir.
Sandy tersenyum malu. “Ah, tidak ada. Saya hanya sedikit stres.” Ia membuka tas tangannya dan mencari dompet. Ke mana dompet itu?
“Sebentar, Bibi. Saya yakin sekali sudah memasukkan dompet tadi…” Sandy mengaduk-aduk isi tas tangannya, lalu menumpahkan seluruh isinya ke meja kasir. Kini, selain lima bungkus keripik kentang, di sana ada sisir kecil, buku kecil yang agak lusuh, bolpoin yang tutupnya sudah hilang, bedak padat, lipgloss, kunci, payung lipat, tiga keping uang logam, saputangan merah, ponsel, dua lembar struk belanja yang sudah kusam, bungkus permen kosong, dan jepitan rambut.
“Kenapa tidak ada?” Sandy bergumam sendiri sambil terus mencari. Ketinggalan di rumah? Berarti seharian ini ia tidak menyadari ia tidak membawa dompet?
Tiba-tiba ia mendengar dering ponsel. Sandy melirik ponselnya yang tergeletak di meja kasir. Oh, bukan ponselnya yang berbunyi.
“Kau sudah sampai di rumah? … Ya, sebentar lagi aku ke sana.”
Sandy menoleh ke arah suara bernada rendah itu. Suara itu milik pria bersetelah putih yang berdiri di belakangnya. Rupanya bunyi tadi adalah bunyi ponsel pria tersebut. Sekarang Sandy melihat orang itu menutup ponsel dan memasukkannya ke saku celana panjangnya. Sebelah tangannya memegang keranjang kecil berisi lima botol 7
soju*. Pria berkacamata itu masih muda, mungkin usianya sekitar akhir dua puluhan atau awal tiga puluhan, wajahnya tampan dan penampilannya rapi sekali seperti seseorang yang mempunyai kedudukan penting di perusahaan besar.
Pria itu memandang Sandy, lalu tersenyum ramah. O-oh. Baru pertama kali Sandy melihat senyum yang begitu menarik. Senyum itu membuat rasa lelahnya seakan menguap tak berbekas. Senyum itu sangat menawan, sangat…
Sandy menggeleng untuk menjernihkan pikiran dan kembali memusatkan perhatian pada barang-barangnya yang berserakan di meja kasir.
Tiba-tiba Sandy merasa tangannya ditepuk-tepuk. Ia mengangkat wajahnya dan melihat bibi pemilik toko sedang tersenyum kepadanya dan berkata, “Soon-Hee, bagaimana kalau tuan itu membayar belanjaannya duluan?”
Sandy memandang bibi pemilik toko, lalu berpaling ke arah pria yang berdiri di belakangnya. “Oh, ya. Maaf.” Sandy menyingkir ke samping dan pria itu melangkah maju.
“Berapa?” tanya pria itu sambil meletakkan keranjang yang dipegangnya di meja. Tiba-tiba terdengar bunyi ponsel lagi.
Kepala Sandy mulai terasa sakit seperti ditusuk-tusuk. Ia sudah sangat lelah dan sekarang bunyi ponsel pria itu nyaris membuatnya lepas kendali.
Pria itu mengeluarkan ponsel dari saku celana dan meliriknya sekilas. Lalu ia meletakkan ponsel itu di meja dan merogoh saku yang sebelah lagi. Ia mengeluarkan ponsel yang berbeda, ternyata ponsel yang kedua itulah yang sedang berbunyi nyaring.
Astaga, cepat jawab teleponnya! Satu ponsel saja sudah bikin pusing, kenapa harus punya dua? pikir Sandy sambil memijat-mijat pelipisnya.
Pria itu membayar belanjaan sambil tetap berbicara di ponsel, lalu berjalan ke pintu. Tiba-tiba ia berbalik dan mengambil ponsel satu lagi yang tadi diletakkan di meja kasir. “Maaf,” gumamnya sambil tersenyum kepada bibi pemilik toko dan Sandy.
Lagi-lagi senyum itu, senyum yang bisa menghangatkan hati yang beku sekalipun.
Tunggu, kata-kata apa itu tadi? Sandy memejamkan matanya kuat-kuat dan ketika ia membuka mata kembali, pria itu sudah berjalan ke luar dan masuk ke mobil sedan putih yang diparkir di depan toko.
Karena Sandy tetap tidak bisa menemukan dompetnya, bibi pemilik toko mengizinkannya membayar besok. Sandy mengumpulkan kembali barang-barangnya yang berserakan di meja kasir sambil berkali-kali membungkukkan badan dalam-dalam sebagai tanda terima kasih sekaligus permintaan maaf.
* Sejenis minuman keras khas Korea. 8
Begitu keluar dari toko, Sandy langsung membuka sebungkus keripik dan mulai makan. “Sekarang pulang ke rumah,” katanya pada dirinya sendiri.
Selesai berkata begitu, ponselnya berbunyi. Saat itu juga ia mengutuk hari ponsel diciptakan. Sebenarnya ia tidak ingin menjawab ponselnya karena merasa harus menghemat tenaga untuk perjalanan pulang, tapi benda tidak tahu diri itu terus menjerit minta diangkat. Akhirnya Sandy menyerah dan mengaduk-aduk tasnya dengan ganas untuk mencari ponsel sialan itu sebelum ia sendiri yang bakal menjerit histeris di tengah jalan.
“Haaloo!” Sandy ingin marah, tapi suaranya malah terdengar putus asa.
Tidak terdengar jawaban dari ujung sana. Orang itu bisu atau apa?
“Halo? Siapa ini? Silakan bicara… Halo? HALOO?”
Sandy baru akan memutuskan hubungan ketika terdengar suara seorang pria yang ragu-ragu di seberang sana.
“Maaf… bukankah ini ponsel Tae-Woo?”
Siapa lagi orang ini?
“Anda salah sambung. Ini ponsel Han Soon-Hee,” ujar Sandy ketus dan langsung menutup flap ponselnya dengan keras.
Sandy menatap ponselnya sambil menggigit bibir penuh rasa dongkol. “Tidak bisakah kaubiarkan aku tenang sedikit?” Ia baru akan mencabut baterai ponsel itu ketika ia merasa harus menelepon ibunya untuk memberitahu ia akan segera sampai di rumah. Walaupun Sandy tinggal di Seoul dan orangtuanya di Jakarta, mereka sering menelepon dan mengecek keberadaannya. Tadi ibunya malah sudah sempat menelepon untuk menanyakan kenapa Sandy belum sampai di rumah.
Ia membuka ponselnya kembali dan menekan angka satu yang akan langsung terhubung ke rumah orangtuanya di Jakarta, tapi ia heran ketika melihat tulisan yang tertera di layar ponselnya setelah ia menekan angka itu. Bukan tulisan “Rumah Jakarta” yang tertera seperti biasa, tapi nama “Park Hyun-Shik”. Sandy cepat-cepat memutuskan hubungan dan tertegun.
Sandy memerhatikan ponsel yang dipegangnya. Memang itu ponsel miliknya, setidaknya bentuk dan warnanya sama persis dengan ponsel miliknya. Ia membuka daftar telepon di ponselnya dan melongo melihat nama-nama yang tidak dikenalnya. Otaknya yang sudah lelah dipaksa berpikir.
Tadi di toko bibi itu, semua barangnya berserakan di meja kasir, termasuk ponselnya. Ketika ponsel milik pria yang berdiri di belakangnya tadi berbunyi untuk pertama kali, ia mengira ponselnya sendiri yang berbunyi karena dering ponsel mereka sama. 9
Kemudian ponsel kedua pria itu berbunyi. Pria itu meletakkan ponselnya yang pertama di meja dan mengeluarkan ponsel kedua. Jadi, di meja kasir ada ponsel pria itu dan ponsel Sandy.
Sandy teringat bentuk ponsel pria itu yang diletakkan di meja memang sama dengan bentuk ponselnya sendiri. Sebelum keluar dari toko, pria itu berbalik untuk mengambil ponsel pertamanya yang tertinggal di meja. Sekarang Sandy memegang ponsel dengan daftar nama yang tidak dikenalnya.
Otaknya mulai bisa mencerna apa yang sedang terjadi. Artinya… artinya… orang itu telah mengambil ponsel yang salah. Pria tadi mengambil ponsel Sandy.
Sandy memukul-mukul dadanya dan mengerang putus asa. “Bagaimana ini? Aduh, bisa gila aku. Gila.” Ia melihat ke kanan dan ke kiri. Mobil pria itu sudah tidak tampak. Sandy merasa tubuhnya nyaris ambruk ke tanah. Rasanya ingin menangis saja. Ke mana ia harus mencari orang itu?
Tiba-tiba ide muncul di otaknya yang sudah hampir lumpuh. Ponselnya ada pada pria itu, bukan? Berarti Sandy bisa menelepon ke ponselnya dan pria itu akan menjawab. Sebersit tenaga muncul kembali. Ia menghubungi ponselnya dengan ponsel pria tadi yang sedang dipegangnya.
Sandy berjalan mondar-mandir di tepi jalan dengan gelisah sambil menunggu hubungannya tersambung. “Cepat angkat… cepat… tolong… ce—Halo?”
“Oh, Hyong*. Kenapa lama sekali?”
Park Hyun-Shik tersenyum meminta maaf kepada laki-laki bertubuh tinggi yang membuka pintu, lalu melangkah masuk ke rumah yang sudah sering didatanginya. “Maaf, jalanan agak macet,” katanya sambil berjalan ke ruang duduk yang luas. “Hei, Tae-Woo. Punya makanan ringan? Aku sudah beli minuman.”
Jung Tae-Woo mengikuti Park Hyun-Shik ke ruang duduk. Ia tidak menghiraukan pertanyaan temannya dan balik bertanya, “Hyong sudah dengar gosipnya?”
Park Hyun-Shik memerhatikan temannya mengempaskan diri ke sofa. Tatapan Jung Tae-Woo terlihat menerawang dan cemas. Sebagai manajer Jung Tae-Woo, Park Hyun-Shik memahami alasan kekhawatirannya.
“Dari mana asal gosip itu?” kata Tae-Woo, seakan-akan bertanya pada dirinya sendiri.
Park Hyun Shik hanya tersenyum kecil dan mengulurkan sebotol soju kepadanya.
* Kakak, panggilan pria kepada pria yang lebih tua. 10
Tae-Woo membuka tutup botol itu dan meneguk isinya. “Aku dibilang gay.” Tae-Woo tertawa pahit. “Kenapa mereka bisa berpikir seperti itu? Memangnya sikapku seperti wanita? Atau aku pernah terlalu dekat dengan pria? Katakan padaku, Hyong. Jangan-jangan selama ini Hyong juga berpikir seperti mereka?”
Park Hyun-Shik duduk di kursi di hadapan Tae-Woo, ikut meneguk soju langsung dari botolnya. “Kau tahu aku tidak pernah berpikir seperti itu,” ujarnya tenang. “Masalahnya, tabloid dan majalah memang suka mencari berita. Kau juga tahu mereka sering menulis artikel yang tidak-tidak. Kau tanya padaku kenapa mereka bisa berpikir kau gay? Mungkin karena selama ini kau tidak pernah terlihat dekat dengan wanita mana pun di depan publik.”
Jung Tae-Woo mengangkat bahu. “Kalau begitu, terserah mereka mau berpikir apa. Kalau kita tidak menanggapinya, gosip itu tentu akan mereda sendiri.”
Park Hyun-Shik menggeleng. “Dua minggu lagi album barumu akan diluncurkan. Aku takut rumor ini bisa memengaruhi penjualan albummu nantinya. Satu gosip bisa menimbulkan gosip-gosip lain. Bahkan masalah lama juga bisa diungkit-ungkit. Produsermu tidak akan senang. Ditambah lagi, bagaimana dengan para penggemarmu? Apa yang akan mereka pikirkan? Kau bisa kehilangan pasar.”
Jung Tae-Woo mendongak menatap langit-langit dan mengembuskan napas berat. “Lalu bagaimana?”
Park Hyun-Shik meneguk minumannya lagi dan berkata, “Untuk masalah gosip gay itu, kurasa sudah saatnya bagimu untuk memperkenalkan seorang wanita kepada publik.”
Kepala Tae-Woo berputar cepat ke arah Park Hyun-Shik. “Apa?”
“Sederhana saja. Kenapa kau tidak mulai pacaran?” usul Park Hyun-Shik langsung.
“Apa?”
Park Hyun-Shik tidak memandang Jung Tae-Woo dan melanjutkan dengan nada serius, “Yang penting jangan berpacaran dengan artis. Bisa jadi skandal. Terlalu berisiko. Kita juga tidak bisa segera membuat pengumuman resmi kepada wartawan bahwa kau sedang menjalin hubungan dengan wanita karena mereka pasti curiga dan akan menduga itu hanya sandiwara untuk mengelak dari gosip gay.”
Park Hyun-Shik mengerutkan kening dan tenggelam dalam pikiran. Akhirnya ia menoleh dan mendapati Tae-Woo sedang menunggu hasil renungannya.
“Baiklah,” katanya sambil tersenyum. “Kita misalkan saja bahwa sebenarnya kau punya kekasih tapi kekasihmu tidak bersedia diekspos, jadi kau terpaksa merahasiakan hubungan kalian. Dengan begitu, tidak ada yang tahu siapa wanita itu dan tidak ada yang pernah melihatnya.” 11
Tae-Woo mengerutkan kening karena bingung. “Tidak ada yang pernah melihat dan tidak ada yang tahu. Apa untungnya begitu? Orang-orang tidak akan percaya pada sekadar kata-kata belaka.”
“Tapi kita bisa memberikan bukti.”
“Bukti apa?”
“Foto dirimu bersama wanita itu.”
“Wanita yang mana?”
“Wanita yang menjadi kekasihmu.”
“Kekasih yang mana?”
“Semua bisa diatur kalau memang kau mau.”
“Maksudnya?”
Senyum Park Hyun-Shik bertambah lebar. “Kita cari wanita yang tidak dikenal siapa pun dan memintanya menjadi kekasihmu selama beberapa saat. Kau hanya perlu memamerkannya di depan wartawan. Beres, bukan?”
Tae-Woo merenung, lalu berkata, “Bagaimana kalau wartawan mulai menyelidiki asal-usul wanita itu? Lagi pula di mana kita cari wanita yang bersedia dan bisa dipercaya untuk diajak bekerja sama? Masa dipilih sembarangan?”
Park Hyun-Shik meneguk soju-nya lagi dan menatap Tae-Woo. Temannya itu tampak mempertimbangkan usulnya dengan ekspresi sangat cemas. Alisnya berkerut, sesekali ia menggigit bibir bawahnya.
Setelah beberapa saat, Tae-Woo mendesah dan melanjutkan, “Wanita yag seperti apa yang akan kita pilih? Boleh aku pilih sendiri? Atau kita pilih saja wanita pertama yang berjalan melewati pintu itu?” Ia menunjuk pintu depan rumahnya dengan dagu.
Tawa Park Hyun-Shik meledak. Tae-Woo menatapnya dengan pandangan bingung. “Hyong, ada apa?”
Park Hyun-Shik mendorong pelan bahu Tae-Woo. “Astaga, Tae-Woo. Aku hanya bercanda. Kenapa kau serius begitu?”
“Apa?”
Park Hyun-Shik menggeleng-geleng. “Aku hanya bercanda soal usul tadi. Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Pasti ada jalan keluarnya.”
Tae-Woo mendengus, lalu tertawa kecil. “Ah, pusing! Aku mau keluar jalan-jalan sebentar. Hyong mau ikut?” kata Tae-Woo sambil merebahkan kepala di sandaran sofa dan memandang langit-langit ruang duduk.
Park Hyun-Shik mengangkat bahu. “Oke.”
Tae-Woo mengayun-ayunkan botol soju yang sedang dipegangnya, lalu bertanya, “Oh, Hyong, ponselku sudah diperbaiki belum?” 12
Park Hyun-Shik mengeluarkan ponsel dan mengulurkannya kepada Tae-Woo. Tiba-tiba ia teringat pada telepon yang diterimanya dalam perjalanan ke rumah Tae-Woo tadi. Wanita yang mengaku bernama Han Soon-Hee itu berkata ponsel mereka tertukar. Karena ia sendiri tidak bisa kembali mengambilnya, Park Hyun-Shik meminta wanita itu datang ke rumah Jung Tae-Woo. Mungkin permintaannya agak keterlaluan karena bagaimanapun tertukarnya ponsel mereka bukan salah wanita itu, tapi apa boleh buat. Jung Tae-Woo sedang uring-uringan dan kalau sedang uring-uringan, ia tidak suka menunggu lama.
Ia baru akan menceritakan hal ini kepada Tae-Woo ketika bel pintu berbunyi.
“Siapa yang datang malam-malam begini?” gumam Tae-Woo heran.
Sandy benar-benar tidak mengerti kenapa hari ini ia sial sekali. Mungkin begitu sampai di rumah ia harus cepat-cepat mandi kembang tujuh warna seperti yang pernah diajarkan ibunya, apa pun untuk mengguyur hingga tak bersisa segala kesialan. Sekarang ia berdiri di depan pintu rumah besar berwarna putih. Pria yang katanya bernama Park Hyun-Shik menyuruhnya kemari untuk mengambil ponselnya yang tertukar. Sandy jengkel. Kenapa ia yang harus datang, bukankah orang itu yang duluan mengambil ponsel yang salah? Ia bahkan sampai harus meminjam uang dari bibi pemilik toko supaya bisa naik bus, ditambah harus berjalan kaki untuk sampai di kawasan perumahan elite ini.
Sandy kembali menghembuskan napas. Sudahlah, tidak apa-apa. Hal terpenting sekarang adalah mendapatkan ponselnya kembali. Setelah ini ia bakal bisa bergegas pulang. Hari sudah semakin larut dan ia sudah menguap empat kali dalam lima belas menit terakhir.
Pintu terbuka dan Sandy mengenali wajah pria yang membuka pintu itu. Ia pria yang ada di toko tadi. Walaupun agak sulit, Sandy memaksakan seulas senyum sopan. Pipinya terasa agak kaku, tapi ia berharap senyumnya terlihat normal.
“Apa kabar? Saya Han Soon-Hee yang tadi menelepon. Saya ingin mengembalikan ponsel Anda. Ini.” Sandy mengulurkan tangannya yang memegang ponsel.
“Oh, terima kasih banyak,” kata pria itu ramah. “Saya benar-benar minta maaf karena sudah merepotkan. Silakan masuk. Ponsel Anda ada di dalam.”
Sebenarnya Sandy tahu ia tidak boleh masuk ke rumah pria yang tidak ia kenal, apalagi pada jam selarut ini. Tapi otaknya sudah tidak bisa berfungsi sebagaimana mestinya dan ia hanya ingin cepat-cepat menyelesaikan masalah supaya bisa pulang ke rumah dan tidur. Lagi pula pria itu kelihatannya sangat baik. 13
Sandy melangkah masuk dan membiarkan dirinya dibawa ke ruang duduk luas dengan perabotan mewah. Di sofa panjang yang mendominasi ruang tamu itu duduk laki-laki yang sedang berbicara di telepon. Wajahnya tampan, potongan rambutnya bagus dan rapi, walaupun Sandy pribadi tidak terlalu suka dengan warna rambut yang agak pirang. Ia merasa pernah melihat laki-laki itu. Tapi di mana ya?
“Mungkin Anda salah sambung,” Sandy mendengar pria itu berkata di ponselnya. “Tidak ada yang namanya Han Soon-Hee atau Sandy di sini.”
Sandy menatap Park Hyun-Shik dengan pandangan bertanya sambil menunjuk ke arah ponsel yang sedang dipegang laki-laki tampan di sofa itu.
“Ya, itu ponsel Anda,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum kecil.
Laki-laki yang duduk di sofa masih sibuk sendiri, tidak menyadari kedatangan Sandy. Keningnya tampak berkerut sebal. Ia berkata dengan nada agak marah. “Maaf, Lee Jeong-Su ssi*, saya benar-benar tidak mengenal Anda. Saya juga tidak kenal Han Soon-Hee. Bagaimana saya bisa meminta dia menjawab telepon? Anda salah sambung.”
Selesai berkata seperti itu, laki-laki itu menutup flap ponselnya dengan keras. “Orang aneh,” ia menggerutu sendiri.
“Hei…,” Sandy mendengar Park Hyun-Shik memanggil laki-laki itu. “Ponsel itu milik nona ini.”
Laki-laki di sofa itu berpaling ke arah Park Hyun-Shik, lalu ke arah Sandy. Ketika mata mereka bertemu, Sandy baru sadar siapa laki-laki itu.
Jung Tae-Woo agak bingung mendengar penjelasan Park Hyun-Shik. Pandangannya berpindah-pindah dari sang manajer ke gadis yang berdiri di hadapannya, lalu kembali ke manajernya lagi. Secara sekilas, ia mengamati orang asing yang sekarang ada di ruang tamunya itu: gadis bertubuh kecil dengan rambut dikucir dan tangan menjinjing kantong plastik besar serta tas tangan. Raut wajahnya terlihat kusam, lelah, dan pucat. Gadis itu diam tak bersuara sementara Park Hyun-Shik menjelaskan apa yang sudah terjadi.
“Oh, jadi ini ponsel Anda?” tanya Tae-Woo sambil bangkit dari sofa. Ia mengulurkan ponsel yang sedang dipegangnya. “Itu… tadi—siapa namanya, maaf, saya lupa—menelepon mencari Han Soon-Hee atau Sandy. Anda sendiri Han Soon-Hee atau Sandy?”
Gadis itu tersenyum samar dan menjawab, “Dua-duanya nama saya.”
*Partikel dalam bahasa Korea untuk menyatakan rasa hormat. 14
Tiba-tiba ponsel itu berbunyi dan membuat Tae-Woo tersentak kaget. “Silakan dijawab,” katanya cepat.
Han Soon-Hee menerima ponsel itu dan langsung membuka flap-nya. “Halo?”
Kemudian Tae-Woo dan Park Hyun-Shik tertegun ketika mendengar gadis itu berbicara dalam bahasa asing. Tae-Woo yakin percakapan tersebut bukan dalam bahasa Inggris ataupun Jepang karena ia menguasai kedua bahasa itu. Entah bahasa apa yang sedang dipakai gadis itu, pokoknya ia berbicara lancar sekali. Tae-Woo menoleh ke arah manajernya untuk bertanya dan sebagai jawaban Park Hyun-Shik menggeleng.
Percakapan itu tidak berlangsung lama. Setelah menutup telepon si gadis memandang Park Hyun-Shik dan Tae-Woo bergantian dengan sikap serbasalah. Sambil tersenyum kaku ia berkata, “Ehm, terima kasih banyak. Saya pulang dulu.”
“Tunggu,” Park Hyun-Shik menyela. Gadis itu memandangnya tanpa ekspresi. “Kalau boleh tahu, yang tadi itu bahasa apa?”
“Bahasa Indonesia,” jawab gadis itu langsung.
“Oh, begitu.” Park Hyun-Shik tersenyum dan mengangguk-angguk karena sepertinya gadis itu tidak ingin menjelaskan lebih lanjut. “Anda bisa berbahasa Indonesia rupanya.”
“Saya permisi,” kata gadis itu lagi sambil beranjak ke pintu.
“Sebentar,” Park Hyun-Shik kembali menahan gadis itu. Ia memandang Tae-Woo sekilas, lalu kembali memandang gadis itu. “Anda tidak datang dengan mobil, bukan? Tadi saya lihat tidak ada mobil di luar. Begini saja, kebetulan kami juga mau keluar. Bagaimana kalau Anda kami antar? Saya merasa tidak enak karena Anda harus mengantar ponsel itu kemari.”
Gadis itu tersenyum kaku dan menggoyang-goyangkan sebelah tangannya. “Tidak usah. Saya bisa naik bus.”
“Kami bisa mengantar Anda ke halte bus,” timpal Tae-Woo. Ia tidak yakin gadis itu bisa pulang sendiri karena bila dilihat dari keadaannya sekarang, gadis itu sepertinya bisa jatuh pingsan kapan saja. “Anggap saja sebagai tanda terima kasih sekaligus tanda maaf dari kami.”
Gadis itu memandang mereka berdua bergantian dengan matanya yang besar. Raut wajahnya tampak bimbang. Sepertinya otaknya sedang berputar, mencari cara untuk menolak tawaran itu. Tae-Woo bisa memahaminya. Seorang gadis yang langsung bersedia diantar dua pria tidak dikenal sudah pasti gadis yang tidak beres.
“Tidak usah khawatir. Kami tidak akan macam-macam. Percayalah,” kata Tae-Woo sambil tersenyum lebar, walaupun ia tahu pasti kalimat itu terdengar tidak terlalu meyakinkan. 15
“Oh, bukan. Saya tidak bermaksud begitu,” kata gadis itu sambil menggoyang-goyangkan tangannya lagi.
“Ayo, biar kami antar sampai ke halte bus,” sela Tae-Woo sambil meraih kunci mobil manajernya yang ada di meja. Ia menoleh ke arah Park Hyun-Shik. “Hyong, kita pakai mobilmu saja, ya?”
Sepanjang perjalanan gadis itu lebih banyak diam. Bila diajak bicara, ia hanya menjawab seperlunya. Tae-Woo melirik manajernya yang sedang menyetir dan melirik ke kaca spion untuk mencuri pandang ke kursi belakang. Gadis itu duduk bersandar dan memandang ke luar jendela dengan tatapan kosong. Tae-Woo ingin tahu apa yang membuat gadis itu terlihat begitu lelah.
Tiba-tiba gadis itu membuka suara, “Saya turun di depan sini saja.”
Jung Tae-Woo membalikkan tubuhnya sedikit supaya bisa melihat gadis itu. “Di sini saja? Yakin tidak mau kami antar sampai di rumah?”
“Benar, kami tidak keberatan,” Park Hyun-Shik menambahkan.
Gadis itu menyunggingkan seulas senyum yang terkesan dipaksakan. “Tidak usah. Berhenti di sini saja.”
Park Hyun-Shik menghentikan mobilnya di tepi jalan, di dekat halte bus.
“Terima kasih,” kata gadis itu sambil keluar dari mobil. “Selamat malam.”
Ketika gadis itu membungkuk untuk memberi salam kepada mereka berdua, Park Hyun-Shik menurunkan kaca mobil dan bertanya, “Nona Han Soon-Hee, ada yang ingin saya tanyakan. Apakah Anda mengenal teman saya ini?”
Tae-Woo menyadari manajernya sedang menunjuk ke arahnya.
Han Soon-Hee mengerjapkan matanya sekali, lalu mengangguk. “Orang ini? Jung Tae-Woo, bukan? Jung Tae-Woo yang penyanyi itu?” Lalu seakan baru menyadari sesuatu, ia memandang Tae-Woo dan berkata, “Lagu Anda… lagu Anda… bagus.”
Dua
“‟LAGU Anda bagus‟?”
Sandy yang duduk bersila di
tempat tidur dengan selimut membungkus tubuh menatap bingung Kang Young-Mi yang
duduk di sampingnya. Temannya yang bermata sipit dan berambut lurus panjang
tergerai melewati bahu itu balas menatap Sandy dengan kedua tangan terlipat di
dada.
“Aku tidak percaya kau hanya
bisa berkata begitu. Kenapa tidak minta tanda tangannya?” Young-Mi melanjutkan
dengan nada menuduh.
Sandy mengerang. “Mungkin
karena kemarin aku sedang kesal dan lelah… dan lumpuh otak.” Ia memegang
pipinya yang agak pucat dan menggeleng-geleng. “Betul, sepertinya otakku
benar-benar sudah lumpuh semalam. Bagaimana bisa aku masuk ke mobil bersama dua
laki-laki yang tidak kukenal? Dan saat itu sudah hampir tengah malam. Astaga,
apa yang sudah kulakukan? Aku bukan orang seperti itu. Tidak, tidak. Aku sudah
gila. Syukurlah aku masih beruntung. Bagaimana kalau sampai terjadi apa-apa
kemarin?”
Kayng Young-Mi mendecakkan
lidah. “Hei, kau bukannya bersama orang asing. Kau bersama Jung Tae-Woo. Kenapa
kau tidak minta tanda tangannya?” tanyanya sekali lagi, nada penyesalan kental
terdengar.
“Jung Tae-Woo orang asing
bagiku,” cetus Sandy tegas. “Lagi pula kau tahu sendiri aku bukan penggemarnya,
kenapa aku harus minta tanda tangannya?”
“Walaupun bukan penggemarnya,
kau kan tahu temanmu yang satu ini penggemar beratnya,” tegur Young-Mi lagi
sambil menekankan telapak tangan di dada. “Aku sudah begitu setia menunggu
kemunculannya lagi selama empat tahun ini. Setidaknya kau bisa minta tanda
tangannya untukku… Tidak semua orang bisa bertemu langsung 17
dengan
Jung Tae-Woo, kau tahu? Dan kemarin, entah dengan keajaiban apa, kau bertemu
dengannya, kau bicara dengannya, dan dia bahkan mengantarmu dengan mobilnya.”
“Mobil temannya,” sela Sandy.
“Temannya juga ada di sana.”
Young-Mi tidak mengacuhkan
Sandy. “Kau naik mobil bersamanya. Haah, kalau aku jadi kau, aku akan—“
“Hei, Kang Young-Mi!”
Sikap Young-Mi melunak. “Aku
tahu, aku tahu. Tapi kalau lain kali kau bertemu dengannya, jangan lupa minta
tanda tangan untukku.”
Sandy membaringkan diri ke
tempat tidur. “Kalau aku bertemu dengannya lagi,” gumamnya lirih.
Pandangannya menerawang. “Kalau aku bertemu dengannya lagi.”
Young-Mi bermain-main dengan
salah satu ujung selimut Sandy lalu tiba-tiba menyeletuk,” Oh ya, kudengar Jung
Tae-Woo itu sebenarnya gay. Aku tidak tahu gosip itu benar atau tidak,
meski aku bisa mati karena kecewa kalau dia benar-benar gay. Kemarin kau
bertemu langsung dengannya. Menurutmu bagaimana? Sikapnya seperti apa? Apakah
dia kelihatan normal-normal saja? Terlihat berbeda? Apakah penampilannya
berubah setelah bertahun-tahun menghilang?”
Sandy mengerutkan kening dan
berpikir. “Entahlah, aku tidak merasa ada yang aneh pada dirinya. Biasa saja.
Aduh, aku kan sudah bilang bahwa kemarin aku lumpuh otak. Aku bahkan tidak
ingat lagi baju apa yang dipakainya.”
Young-Mi menatap prihatin
temannya. “Kau benar-benar tidak berguna. Hanya kau yang bisa demam di musim
panas seperti ini. Kepalamu masih sakit? Sudah baikan, belum?”
Sandy tidak menjawab pertanyaan
itu. Ia sedang memikirkan hal lain. Kemudian ia menggigit bibir dan bertanya,
“Young-Mi, sebenarnya apa yang kau suka dari Jung Tae-Woo? Kenapa kau begitu
tergila-gila padanya?”
Senyum Kang Young-Mi
mengembang. “Karena dia tampan, lucu, pandai menyanyi—aduh, suaranya bagus
sekali—dan karena dia menulis lagu-lagu yang begitu romantis dan menyentuh. Oh
ya, album barunya akan diluncurkan sebentar lagi. Ah, aku sudah tidak sabar.”
“Begitu?”
Tiba-tiba Young-Mi memekik dan
membuat Sandy terperanjat.
“Kenapa? Ada apa?” tanya Sandy
begitu melihat Young-Mi meraih tasnya yang tergeletak di lantai dengan kasar
dan mulai mencari-cari sesuatu di dalamnya.
“Bodohnya aku, bodohnya aku,”
gumam Young-Mi berulang-ulang. “Seharusnya aku langsung tahu begitu kau
menceritakannya padaku.”
“Apa?” tanya Sandy heran. 18
Young-Mi
mengeluarkan tabloid dan membuka-buka halamannya. “Nah, coba kau lihat ini.”
sandy melihat artikel berjudul
“Pertemuan Tengah Malam” yang ditunjukkan Young-Mi dan mendadak ia merinding.
Artikel itu dilengkapi dua foto Jung Tae-Woo bersama seorang wanita. Wajah
wanita itu tidak terlihat jelas, tapi Sandy sudah tentu bisa mengenali dirinya
sendiri. Wanita yang bersama Jung Tae-Woo di dalam foto itu adalah dirinya.
Astaga! Apa-apaan ini?
Foto pertama memperlihatkan
Sandy dan Jung Tae-Woo yang sedang keluar dari rumah artis itu. Kepala Sandy
tertunduk ketika difoto sehingga wajahnya tidak terlihat. Sandy ingat saat itu
teman Jung Tae-Woo masih berada di dalam rumah sehingga orang itu tidak ikut
terfoto.
Foto yang kedua diambil ketika
Jung Tae-Woo sedang membuka pintu mobil untuknya. Sosoknya tidak jelas karena
terhalang tubuh Jung Tae-Woo. Sandy merasa bersyukur karena wajahnya tidak
terlihat.
“Aku sempat melupakan tabloid
ini ketika aku mendengar kau sakit,” kata Young-Mi menjelaskan. “Seharusnya aku
sudah bisa menduga ketika kau menceritakan apa yang kaualami semalam tadi, tapi
anehnya hari ini kerja otakku lambat sekali. Wanita yang di foto itu kau,
bukan?”
“Astaga,” gumam Sandy tidak
percaya. “Siapa yang mengambil foto-foto ini?”
“Jung Tae-Woo itu artis
terkenal,” kata Young-Mi dengan nada aku-tahu-semua-jadi-percaya-saja-padaku.
“Tentu saja banyak wartawan yang sibuk mencari berita tentang dirinya. Dan yang
satu ini benar-benar berita hebat. Di sini malah ditulis kau kekasih Jung
Tae-Woo.”
Sandy menggeleng-geleng dan
mengembalikan tabloid itu kepada Young-Mi. Ia masih merinding, “Aku tidak
berdua saja dengan Jung Tae-Woo. Paman berkacamata itu, teman Jung Tae-Woo,
juga ada bersama kami, seharusnya siapa pun yang mengambil foto ini juga tahu,
tapi kenapa jadi begini?”
Kang Young-mi menarik napas
panjang. “Sudah kubilang, Jung Tae-Woo itu artis terkenal. Tabloid-tabloid
harus mencari berita yang bisa menarik perhatian orang. Kalau kalian bertiga
yang ada dalam foto itu, tidak akan ada berita.”
Sandy merasa tubuhnya
menggigil. “Untunglah wajahku tidak terlihat. Young-Mi, kuharap kau tidak akan
memberitahu siapa pun tentang pertemuanku dengan Jung Tae-Woo.”
Alis Young-Mi terangkat.
“Kenapa?”
Sandy mengerutkan kening dan
menggaruk kepala. “Enak saja mereka membuat gosip sembarangan. Kekasihnya? Aku?
Aku tidak mau terlibat dengan urusan seperti gosip artis…” 19
“Kepalamu
masih sakit?” tanya Young-Mi ketika melihat Sandy terdiam sambil memegang dahi.
Sandy menggeleng dan tersenyum.
“Tidak, aku sudah baikan. Sepertinya gara-gara kecapekan ditambah stres,
akhirnya demam. Tapi sekarang aku sudah tidak apa-apa Young-Mi, kau pulang saja
dan bantu ibumu. Sekarang kan jam makan siang. Rumah makan ibumu pasti sedang
ramai.”
“Ibuku juga mencemaskanmu, jadi
aku diizinkan tinggal lebih lama. Oh ya, ibuku sudah memasak bubur untukmu.
Tadi aku taruh di dapur. Kau harus makan, mengerti?” kata Young-Mi sambil
mengambil tasnya yang ada di lantai. Ia meletakkan tangannya di kening Sandy
dan bergumam, “Sudah tidak panas, tapi tetap harus minum obat. Nanti sore aku
akan menjengukmu lagi. Kalau ada apa-apa, telepon aku.”
“Kau baik sekali, Young-Mi,”
kata Sandy sambil tersenyum. “Sampaikan terima kasihku pada ibumu karena sudah
memasak bubur untukku. Ah, tidak usah. Sebaiknya aku sendiri yang meneleponnya
dan berterima kasih. Oh ya, kau harus ingat, soal pertemuanku dengan Jung
Tae-Woo kemarin malam, jangan kaukatakan pada siapa pun.”
“Ya, ya, aku tahu. Kau tenang
saja. Istirahat yang banyak ya. Sampai jumpa,” kata Young-Mi sebelum keluar
dari kamar Sandy.
Jung Tae-Woo berdiri tegak di
dekat jendela besar ruangan kantor manajernya yang berada di lantai 20 gedung
pencakar langit. Ia memandang ke luar jendela dengan kedua tangan dimasukkan ke
saku celana. Ia tidak sedang menikmati pemandangan kota Seoul seperti yang
sering dilakukannya pada hari-hari biasa. Pagi ini sebuah tabloid lagi-lagi
memuat artikel yang mengomentari gosip gay-nya. Gosip itu merambat
dengan kecepatan tinggi. Tidak lama lagi ia pasti akan dimintai penjelasan.
Wartawan-wartawan akan mengejarnya… menanyainya… menuntut tanggapannya. Itulah
risiko menjadi artis. Kenangan buruk masa lalu itu muncul lagi. Ketika para
wartawan mengajukan ribuan pertanyaan tanpa henti, ketika ia merasa begitu
frustrasi dan harus bersembunyi untuk menenangkan diri. Kini, dengan adanya
gosip baru itu, hari-hari penuh perjuangan akan kembali dimulai… atau apakah
sebenarnya sudah dimulai?
“Oh, Tae-Woo, sudah datang
rupanya.”
Tae-Woo begitu sibuk dengan
pikirannya sendiri sampai-sampai ia tidak menyadari manajernya sudah masuk ke
kantor itu.
Park Hyun-Shik berjalan ke meja
kerjanya dan meletakkan map biru di meja. “Sudah lama?” 20
Tae-Woo
menggeleng dan menghampiri kursi di depan meja. “Baru saja sampai. Ada apa
menyuruhku kemari pagi-pagi?”
Park Hyun-Shik menyampirkan
jasnya di sandaran kursi lalu membuka map yang tadi diletakkannya di meja. Ia
mengeluarkan tabloid dari dalamnya dan menyodorkannya kepada Tae-Woo.
Tae-Woo menerima tabloid yang
disodorkan dengan bingung, namun begitu melihat artikel yang ada di sana, raut
wajahnya berubah. “Apa-apaan ini? Bagaimana mereka bisa… Ini—“
Tae-Woo memandang manajernya
dan yang ditatap mengangguk. “Benar. Ini foto yang diambil kemarin malam ketika
kita mengantar gadis itu.”
Dengan kesal Tae-Woo
melemparkan tabloid itu ke meja. “Bagus, satu gosip masih tidak cukup rupanya.”
Ia duduk dan bersandar di kursi. “Bagaimana mereka bisa mendapatkan foto-foto
ini? Apakah menurut Hyong, gadis yang kemarin itu ada hubungannya dengan
masalah ini?”
Manajernya menggeleng pelan.
“Tidak, kurasa tidak. Meski kemungkinan seperti itu tetap ada, sekecil apa pun,
tapi menurutku tidak begitu.”
Tae-Woo mengusap-usap dagu
sambil merenung. Ia harus mengakui gadis yang kemarin itu tidak mungkin ada
hubungannya dengan gosip ini, tapi…
“Gadis yang kemarin itu, Han
Soon-Hee… aku sudah menyelidikinya,” kata Park Hyun-Shik sambil mengulurkan
sehelai kertas kepada Tae-Woo. Ia lalu melanjutkan, “Sedang kuliah tahun ketiga
dan bekerja sambilan di butik seorang perancang busana. Ibunya orang Indonesia
dan ayahnya orang Korea. Ayahnya kepala cabang perusahaan mobil dan ibunya ibu
rumah tangga. Dia anak tunggal, lahir di Jakarta dan tinggal di sana sampai
usianya sepuluh tahun, lalu karena kontrak kerja ayahnya sudah selesai, mereka
sekeluarga pindah ke Seoul. Lima tahun yang lalu orangtuanya pindah kembali ke
Jakarta karena ayahnya ditugaskan lagi di sana, sedangkan dia tetap tinggal di
Seoul. Latar belakangnya bersih dan sederhana.”
Tae-Woo membaca tulisan pada
kertas yang dipegangnya dan tertawa kecil. “Dari mana Hyong mendapatkan
semua informasi ini? Sampai tinggi dan berat badannya ada.”
Park Hyun-Shik hanya tersenyum
dan mengeluarkan sehelai kertas lain dari dalam mapnya lalu mulai membaca,
“Menurut orang-orang yang kenal baik dengannya, Han Soon-Hee wanita baik-baik
dan bisa dipercaya. Tidak merokok, tidak pernah mabuk-mabukan, tidak memakai
obat-obat terlarang, dan tidak punya catatan kriminal apa pun. Jadi aku berani
menyimpulkan dia tidak ada sangkut pautnya dengan foto-foto di tabloid itu.”
Lalu ia menyodorkan kertas itu.
Tae-Woo menerima kertas yang
disodorkan manajernya. 21
Park
Hyun-Shik menghela napas. “Meski harus diakui… secara tidak langsung, gosip
yang satu ini sudah membantu kita,” katanya.
Tae-Woo mengangkat wajah dari
kertas di tangannya dan memandang Park Hyun-Shik, menunggu si manajer
menjelaskan maksud kata-katanya.
“Bukankah gosip ini dengan
sendirinya mematahkan gosip gay-mu? Foto-foto itu memperlihatkan kau
bersama seorang wanita di depan rumah pribadimu pada waktu yang sangat
mencurigakan,” kata Park Hyun-Shik sambil tersenyum lebar.
“Aku tahu kau sudah meminta
izin untuk tidak datang bekerja hari ini karena tidak enak badan, tapi aku
sangat membutuhkanmu sekarang, Miss Han. Saat ini juga. Kami di sini sibuk
sekali, apalagi aku, sampai hampir tidak punya waktu untuk menarik napas. Aku
terpaksa memintamu datang, Miss Han. Tolong datanglah sekarang. Please…
Kau pasti tidak sedang sakit berat. Kalau tidak, saat ini kau pasti sudah
diopname di rumah sakit dan bukannya istirahat di rumah. Okay, Miss
Han?”
Sandy berbaring di ranjang
dengan ponsel menempel di telinga. Ia mendengarkan kata-kata bosnya yang
mengalir seperti air bah di ujung sana dengan mata terpejam. Seharusnya ia
tidak mengaktifkan ponselnya hari ini. Seharusnya bosnya tidak menghubunginya.
Seharusnya bosnya tidak bersikap begini. Orang sakit masa disuruh kerja? Lagi
pula ini kan hari Sabtu. Diktator!
“Miss Han? Miss Han? Halooo?
Kau mendengarkanku, Miss Han? Aku tidak bisa berbicara lama-lama, Miss Han. Very
very busy. Kau akan datang, kan?”
“Ya, ya, Mister Kim. Saya
mengerti. Saya akan sampai di sana dalam satu jam,” sahut Sandy malas.
“Kau punya waktu setengah jam
untuk sampai di studioku, Miss Han,” kata bosnya sebelum menutup telepon.
Sandy menatap ponselnya dengan
hati dongkol. “Lihat saja, kau akan menerima surat pengunduran diriku hari
Senin nanti. Drakula! Pengisap darah! Hhh, bisa gila aku!”
Sambil mengumpat, Sandy memaksa
dirinya bangkit dan berjalan terseok-seok ke lemari pakaian.
Empat puluh tiga menit
kemudian, Sandy sudah berdiri di studio Mister Kim, salah satu perancang busana
paling populer di Korea. Yang disebut studio oleh bosnya adalah ruang kerja
berantakan yang penuh kain berbagai corak, baik kain perca tak berguna maupun
kain yang masih baru. Studio itu terletak di lantai teratas gedung 22
berlantai
tiga. Butik Mister Kim sendiri terdiri atas dua lantai: lantai pertama
diperuntukkan tamu umum sedangkan lantai duanya untuk tamu VIP.
Sandy masuk dan melihat pria
setengah baya berpenampilan perlente, berambut dicat merah, dan berkaca-mata
itu sedang memandangi model kurus dengan tatapan tidak puas. Lalu dengan sekali
sentakan tangan, ia menyuruh model itu pergi dan menyuruh anak buahnya
memanggil model lain.
Tepat pada saat model lain
masuk ke ruangan, Mister Kim menyadari keberadaan Sandy dan langsung memekik,
“Miss Han! Kau terlambat. Kenapa—sebentar…” Ia berpaling ke arah si model yang
baru masuk dan berkata ketus, “No, no! Bukan kau. Apa yang harus
kulakukan supaya mereka mengerti model seperti apa yang kubutuhkan? Astaga!
Panggilkan Mister Cha ke sini.”
Sandy merasa kasihan melihat
ekspresi kaget si model wanita. Harus diakui Mister Kim ini bukan orang yang
mudah. Kadang-kadang orang jenius memang sulit dibuat senang.
Mister Kim kembali memusatkan
perhatian kepada Sandy. “Kau lihat sendiri, Miss Han, kami sedang sibuk sekali
untuk fashion show. Tolong kauantarkan pakaian-pakaian untuk dicoba.”
Apa? Untuk dicoba siapa?
Pakaian mana? Mister Kim selalu mengharapkan orang lain langsung bisa memahami
kata-katanya yang tidak selalu jelas.
“Diantarkan kepada siapa dan
dicoba untuk apa, Mister Kim?” tanya Sandy.
Mister Kim menatapnya dengan
mata dibelalakkan selebar-lebarnya, setidaknya selebar yang mungkin di lakukan
mata yang pada dasarnya sipit. “Astaga, Miss Han. Kau tentu ingat aku pernah
bercerita tentang Jung Tae-Woo, bukan? Dia sudah setuju akan memakai pakaian
rancanganku dalam setiap penampilannya. Makanya kau cepat-cepatlah pergi ke
sana dan pastikan pakaian-pakaian itu sudah cocok dengan ukuran dan seleranya.”
Lalu, sebelum Sandy bertanya
lagi dia sudah menunjuk rak pakaian beroda yang ada di dekat pintu, “Itu!
Pakaian yang di rak itu!”
Tidak, Anda belum pernah
menyebut-nyebut tentang masalah ini kepadaku, gerutu Sandy dalam hati, tapi
yang keluar dari mulutnya adalah, “Siapa yang Anda sebut tadi?”
“Jung Tae-Woo. Penyanyi itu.
Kau tidak kenal? Sudahlah, kenal atau tidak bukan masalah penting. Sana cepat
pergi! Dia sudah menunggu di butik. Ayo sana. Go! Cepat!” katanya sambil
mendorong punggung Sandy ke arah pintu keluar studionya.
* * * 23
Sandy
mendorong rak beroda yang nyaris terisi penuh pakaian di sepanjang koridor.
Masih dengan perasaan sebal, ia berjalan menuju lift. Di tengah jalan Sandy
berpapasan dengan penjaga butik yang sudah kenal baik dengannya dan diberitahu
Jung Tae-Woo sudah menunggu di lantai dua.
Sesampainya di depan pintu
ruang peragaan lantai dua yang memancarkan kesan elite itu, ia berhenti
beberapa saat. Ia ragu. Kenapa ia harus bertemu Jung Tae-Woo lagi? Apa yang
harus ia katakan kepadanya? Apa yang harus ia lakukan? Apakah laki-laki itu
sudah tahu tentang foto-foto yang dimuat di tabloid itu?
Sandy mendesah dan menggigit
bibir. Mungkin saja Jung Tae-Woo malah tidak ingat padanya lagi. Sandy
mengangguk. Benar, Jung Tae-Woo pasti sudah lupa padanya. Artis-artis pasti
sulit mengingat wajah karena setiap hari mereka harus bertemu begitu banyak
orang baru. Pasti begitu. Mana mungkin mereka ingat setiap orang yang mereka
temui dalam waktu singkat, kan?
Dengan keyakinan itu, Sandy
mendorong pintu kaca besar di hadapannya dan melangkah masuk. Ia menarik napas
dalam-dalam dan memaksa kakinya terus berjalan.
Sandy berdiri di depan pintu
putih salah satu kamar peragaan dan kembali menarik napas. Baiklah, ini
saatnya. Lakukan dan selesaikan secepatnya! Tidak usah cemas. Orang itu tidak
akan ingat padamu. Kerjakan saja tugasmu.
Ia meraih pegangan pintu dan membukanya.
“Salah seorang anak buahnya
akan mengantarkan pakaian-pakaian itu ke sini,” kata Park Hyun-Shik sambil
menutup flap ponsel.
Tae-Woo mengembuskan napas
keras-keras dan mengempaskan diri ke sofa empuk yang diletakkan di
tengah-tengah kamar peragaan. “Sudah kubilang, seharusnya kita tidak usah
datang secepat ini.” Ia melirik jam tangannya. “Ah, aku salah, ternyata bukan
kita yang datang terlalu cepat. Mereka yang terlambat. Hhh… harus menunggu
berapa lama?”
Park Hyun-Shik baru akan
menjawab ketika ponselnya berdering untuk kesekian kalinya dalam dua jam
terakhir.
Tae-Woo menatap manajernya yang
sedang berbicara dengan bahasa formal di ponsel. Sepertinya telepon dari
produser atau semacamnya. Park Hyun-Shik memberi isyarat akan keluar sebentar.
Tae-Woo mengangguk tak acuh dan Park Hyun-Shik keluar dari ruangan itu. 24
Tae-Woo
merebahkan kepala ke sandaran sofa, mencoba mendapatkan kenyamanan. Baru saja
ia merasa damai dan hampir terlelap ketika ia mendengar bunyi pintu dibuka dan
suara seorang wanita.
“Selamat siang. Maaf membuat
Anda menunggu lama.”
Tae-Woo membuka mata. Gadis
berambut sebahu dan bertopi merah memasuki ruangan sambil mendorong rak pakaian
beroda. Gadis itu membungkuk hormat. Tae-Woo berdiri dan membungkuk sedikit
untuk membalas sapaannya.
“Mister Kim meminta saya
membawakan pakaian-pakaian ini untuk Anda. Silakan dicoba.” Gadis itu mendorong
rak hingga ke ujung ruangan, ke dekat bilik ganti. Ia mengeluarkan salah satu
pakaian dari gantungan dan mengulurkannya kepada Tae-Woo. “Silakan dicoba di
sana,” katanya sambil menunjuk ke arah bilik yang tertutup tirai tebal.
Ada perasaan janggal yang
mengusik Tae-Woo, tapi ia tidak tahu apa yang membuatnya merasa seperti itu. Ia
menerima pakaian yang disodorkan dan beranjak ke bilik ganti.
Selesai mengenakan pakaian,
Tae-Woo menyibakkan tirai. Tepat pada saat itu ia melihat gadis yang membawakan
pakaian tadi sedang duduk di kursi bulat di samping sofa. Topi merahnya dilepas
dan gadis itu sedang menyisir rambutnya yang agak ikal dengan jari-jari tangan.
Tae-Woo tertegun dan menatap gadis itu. Itulah kali pertama ia melihat jelas
wajah si gadis sejak ia masuk bersama rak pakaian.
Tiba-tiba gadis itu menoleh
dengan wajah terkejut, sepertinya ia menyadari sedang diperhatikan. Ia
cepat-cepat mengenakan kembali topinya dan berdiri. “Bagaimana? Apakah
pakaiannya cocok? Anda suka?”
Bukankah ia gadis yang kemarin
ditemuinya? Tidak salah lagi. Tae-Woo masih ingat wajah gadis itu. Wajah yang
lelah dan pucat. Gadis yang berdiri di hadapannya ini memang gadis yang
kemarin. Wajahnya masih terlihat lelah dan pucat. Tapi kenapa gadis ini tidak
mengatakan apa-apa? Apakah ia tidak mengenalinya?
“Kita pernah bertemu,” kata
Tae-Woo. Ia tidak sedang bertanya. Ia benar-benar yakin, karena itu ia ingin
melihat reaksi si gadis.
Gadis itu tertegun, lalu
perlahan-lahan mengangkat kepala dan memandang Tae-Woo dengan ragu-ragu.
Tatapan yang ragu-ragu itu
tidak salah lagi sama dengan tatapan gadis yang kemarin datang ke rumahnya.
Tae-Woo menunggu si gadis mengatakan sesuatu.
Setelah hening beberapa detik,
gadis itu hanya bergumam, “Oh?”
Tae-Woo kecewa karena gadis itu
tidak menunjukkan reaksi apa pun. Ia hanya menatapnya dengan matanya yang
besar. Gadis itu bodoh atau benar-benar tidak ingat lagi kejadian kemarin malam?
Bukannya sombong, tapi Tae-Woo tidak habis pikir 25
bagaimana
seseorang bisa melupakan artis yang baru ia temui kemarin malam? Tae-Woo kesal
karena justru dirinyalah yang ingat pada si gadis, sementara si gadis tampaknya
sama sekali tidak ingat padanya. Bagaimana bisa? Atau sebenarnya ia tidak
sepopuler yang ia kira? Apakah dunia sudah berubah tanpa sepengetahuannya?
“Kau datang ke rumahku kemarin
malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata Tae-Woo datar dan cepat,
berusaha membantu ingatan gadis itu. Demi Tuhan, memangnya gadis ini menderita
amnesia?
Sandy memerhatikan Jung Tae-Woo
masuk ke bilik ganti dan menarik tirai. Ia mengembuskan napas lega dan duduk di
kursi bulat yang empuk. Laki-laki itu teryata memang tidak mengenalinya. Sandy
melepaskan topi dan memegang pipinya dengan sebelah tangan. Lelah sekali.
Semoga saja sampai pekerjaannya selesai Jung Tae-Woo tidak akan mengenalinya.
Ia menyisir rambut dengan jari-jari tangan sambil melamun. Tiba-tiba ia melihat
Jung Tae-Woo sudah berdiri di sana sambil memerhatikannya. Sandy tersentak dan
segera memakai topinya kembali.
“Bagaimana? Apakah pakaiannya
cocok? Anda suka?” tanyanya dengan nada yang dibuat riang dan sopan.
“Kita pernah bertemu.”
Sandy bergeming. Ia menggigit
bibir. Ternyata Jung Tae-Woo mengenalinya. Bagaimana sekarang? Mengaku saja?
Tapi kalau baru mengaku sekarang akan terasa aneh. Akhirnya ia hanya bisa
bergumam tidak jelas.
“Kau datang ke rumahku kemarin
malam karena ponselku tertukar dengan ponselmu,” kata Jung Tae-Woo lagi. Nada
suaranya datar.
Baiklah, ia tidak bisa mengelak
lagi. Sandy memaksakan seulas senyum. “Oh, ya, benar. Apa kabar?”
Hanya itu yang bisa
dipikirkannya. Sandy memarahi dirinya sendiri dalam hati.
Jung Tae-Woo memandangnya
dengan tatapan aneh, lalu memalingkan wajah dan mendengus pelan. “Ternyata
ingat juga,” gumamnya.
Sandy mengangkat alis. “Ya?”
Jung Tae-Woo kembali menatapnya
dan berkata, “Jadi kau bekerja di sini?”
“Ya… bisa dibilang begitu,”
jawab Sandy. Ia lega sekarang. Setidaknya ia tidak perlu menundukkan kepala
lagi. Tidak perlu menyembunyikan wajah lagi.
“Foto di tabloid itu… Kau sudah
melihatnya?” tanya Jung Tae-Woo.
Sandy menelan ludah. Ini dia.
Apakah Jung Tae-Woo menyangka ia berada di balik semua ini? 26
“Sudah…,”
sahutnya ragu, lalu cepat-cepat menambahkan sambil menggoyang-goyangkan tangan,
“tapi bukan aku… Maksudku, aku tidak ada hubungannya dengan itu. Sungguh.”
Jung Tae-Woo tertawa kecil.
“Kami juga berpikir begitu. Lagi pula sebenarnya foto-foto itu malah
membantuku.”
Sandy tidak mengerti.
“Kau sering membaca tabloid?”
tanya Tae-Woo.
Sandy menggeleng. Ia tidak
punya waktu untuk itu. Lagi pula ia sama sekali tidak perlu membaca tabloid
untuk tahu gosip seputar artis. Temannya, Kang Young-Mi, adalah tabloid
berjalan. Kang Young-Mi tahu semua yang terjadi dalam dunia artis. Apa pun yang
ia ketahui pasti akan diceritakannya kepada Sandy, tidak peduli Sandy
sebenarnya mau tahu atau tidak.
Jung Tae-Woo mengangguk-angguk.
“Hm, berarti kau tidak tahu-menahu soal gosip tentang diriku.”
“Gosip gay itu?”
kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Sandy tanpa diproses di otaknya
terlebih dahulu.
Jung Tae-Woo menatapnya.
“Bukannya kau tadi bilang kau tidak membaca tabloid?”
Sandy memiringkan kepala dengan
salah tingkah. “Temanku yang menceritakannya padaku.”
“Ternyata banyak orang yang
sudah tahu.” Jung Tae-Woo mendesah. “Bagaimanapun, foto-foto itu sudah
membantuku mengatasi gosip.”
Sandy hanya mengangguk-angguk
tidak acuh, namun ia terkejut ketika laki-laki di hadapannya itu mendadak
berpaling ke arahnya dengan wajah berseri-seri.
“Han Soon-Hee ssi—namamu
Han Soon-Hee, bukan?” tanyanya cepat. Tanpa menunggu jawaban Sandy, ia
meneruskan, “Karena kau sudah membantuku satu kali, bagaimana kalau kau
membantuku lagi?”
Sandy mundur selangkah. “Bantu…
apa?”
“Jadi pacarku.”
“A-apa?!”
Tae-Woo agak kaget mendengar
pekikan gadis itu, tapi ia bisa memakluminya.
“Begini, biar kuganti kalimat
permintaanku,” katanya sambil berkacak pinggang dan berpikir-pikir. Kemudian ia
mengangkat wajah dan menatap Sandy. “Aku hanya ingin memintamu berfoto denganku
sebagai pacarku.” 27
Sandy
mengerjap-ngerjapkan mata dengan bingung. Tae-Woo cepat-cepat menjelaskan. Ia
sangat menyadari alis gadis itu terangkat ketika mendengarkan ceritanya.
“Hanya berfoto. Bagaimana?”
tanya Tae-Woo di akhir penjelasannya. Ia menatap Sandy yang masih tercengang.
Kenapa tiba-tiba ia merasa seolah sedang disidang di pengadilan? Ia sangat
penasaran apa yang akan dikatakan gadis itu, apa jawabannya.
Kalimat pertama yang keluar
dari mulut Sandy adalah, “Kenapa aku?”
Pertanyaan yang bagus. “Tidak
ada alasan khusus,” sahut Tae-Woo santai. “Kupikir kau mungkin mau membantuku.
Bagaimanapun kita sudah pernah difoto bersama walaupun tanpa sengaja.”
Sandy masih terlihat bingung,
tapi Tae-Woo melihat kening gadis itu berkerut, tanda sedang mempertimbangkan
usul yang ia ajukan. Setidaknya Sandy tidak langsung menolak mentah-mentah.
Tae-Woo cepat-cepat mengambil
kesempatan itu untuk menambahkan, “Kalau kau mau, anggap saja aku menawarkan
pekerjaan kepadamu. Tidak akan mengganggu pekerjaanmu yang sekarang. Kau masih
kuliah? Kuliahmu juga tidak akan terganggu.”
“Memangnya aku terlihat seperti
sedang butuh pekerjaan?” tanya Sandy datar. “Atau butuh uang?”
Tae-Woo terdiam. Ia memandang
Sandy dari kepala sampai ke ujung kaki. Tidak, gadis ini memang sudah punya
pekerjaan dan dilihat dari cara berpakaiannya, ia tidak tampak seperti gadis
yang kekurangan uang.
“Memang tidak,” Tae-Woo
mengakui. “Begini saja, aku akan memberimu apa pun yang kauinginkan kalau kau
bersedia membantuku.”
“Hanya untuk berfoto bersama?”
tanya Sandy memastikan.
“Begitulah rencananya,” jawab
Tae-Woo pasti. Ia mulai merasa tidak percaya diri melihat tanggapan gadis itu.
Apa yang sedang dipertimbangkannya? Yah, mungkin memang karena pada dasarnya
Han Soon-Hee bukanlah salah satu penggemarnya. Jadi, tidak aneh kalau gadis itu
tidka antusias dengan gagasan ini.
Tiba-tiba terdengar dering
ponsel. Otomatis Tae-Woo merogoh saku bagian dalam jasnya. Pada saat yang sama
Sandy juga merogoh tas tangannya yang terletak di meja. Ternyata yang berdering
ponsel milik gadis itu. Tae-Woo baru ingat ponsel Sandy sama dengan ponsel
miliknya. Bahkan nada deringnya juga persis sama. Mungkin salah satu dari
mereka harus segera mengganti nada dering.
Sandy menatap ponselnya,
membuka flap-nya, tapi langsung menutupnya lagi tanpa dijawab terlebih
dulu. Rasa ingin tahu Tae-Woo bertambah ketika ia melihat gadis itu melepaskan
baterai ponselnya kemudian kembali menyimpan tas beserta baterainya itu ke tas.
Siapa yang meneleponnya tadi? Tidak tampak ekspresi apa pun di
wajahnya.
Tapi sepertinya Sandy tidak berniat memberikan penjelasan atas tidakannya
barusan.
“Mau membantu, kan?” Tae-Woo
akhirnya membuka suara setelah mereka berdua terdiam beberapa saat.
Gadis itu mengangkat wajahnya
dan menatap Tae-Woo. “Baiklah, asalkan wajahku tidak terlihat.”
Udara di sekeliling Tae-Woo
jadi terasa lebih ringan. Ia mengembuskan napas pelan dan tersenyum lega.
Meminta bantuan Sandy ternyata tidak sesulit dugaannya. Tidak ada syarat yang
aneh-aneh. Kalau sekadar merahasiakan identitas, ia bisa memaklumi itu. Gadis
ini tentu saja tidak ingin berurusan dengan wartawan.
“Terima kasih. Kuharap kau
tidak akan memberitahu orang lain tentang kesepakan kita ini, bahkan orangtuamu
sekalipun. Aku tidak ingin menciptakan skandal yang lebih parah. Aku bisa
memercayaimu, kan?”
“Mm, aku mengerti,” kata Sandy
menyanggupi. Tapi begitu melihat matanya yang agak menerawang, Tae-Woo jadi
kurang yakin apakah gadis itu benar-benar memahami kata-katanya.
Pada saat itu pintu terbuka dan
mereka berdua menoleh. Ternyata yang masuk Park Hyun-Shik. Sang manajer
memandang mereka berdua dengan tatapan bertanya-tanya, lalu setelah beberapa
saat wajahnya menjadi cerah.
“Oh, kau yang kemarin itu?” tanya
Park Hyun-Shik sambil menghampiri Sandy.
Tae-Woo tersenyum lebar. “Hyong,
dia bersedia menjadi pacarku.”
Senyum manajernya langsung
lenyap. “Maksudmu?”
“Yang Hyong katakan
kemarin… soal foto… aku sudah memikirkannya,” kata Tae-Woo, masih tetap tersenyum.
“Kita lakukan saja. Dia juga sudah bersedia membantu. Memang tidak persis
seperti rencana yang Hyong usulkan kemarin.”
Park Hyun-Shik terlihat
bingung. “Soal yang kemarin…?” Ia terdiam sebentar, lalu, “Astaga, kau serius?”
“Akan kujelaskan lebih lanjut
pada Hyong nanti,” kata Tae-Woo sambil menepuk-nepuk pundak manajernya.
“Kita lanjutkan pekerjaan kita dulu. Bukankah kita ke sini karena aku harus
mencoba semua pakaian ini?”
Sandy keluar dari tempatnya
bekerja dengan langkah gamang seolah setengah sadar. Tugasnya mencocokkan
pakaian Jung Tae-Woo sudah selesai, tapi otaknya seakan masih tertinggal
sebagian di butik itu. Ia berjalan dengan langkah lambat, membelok di ujung
jalan, lalu langkah kakinya terhenti.
“Apa
yang sudah kulakukan?” ia bertanya pada dirinya sendiri sambil memegang pipi
dengan sebelah tangan.
Sandy harus berusaha keras
menenangkan diri karena jantungnya berdebar kencang sekali. Sejak tadi ia
berjuang supaya rasa gugupnya tidak terlihat oleh kedua pria itu. Perasaan
canggung saat Jung Tae-Woo menjelaskan rencananya kepada si manajer sementara
pria itu mencoba pakaian tadi bahkan masih bisa ia rasakan hingga kini.
Si manajer agak bimbang. Ia
banyak bertanya pada Sandy, selain itu juga berulang kali menekankan bahwa
masalah ini tidak boleh sampai diketahui orang lain. Tentu saja Sandy mengerti.
Diam-diam, sambil mendengarkan pesan Park Hyun-Shik, Sandy mengamatinya. Pria
yang satu itu benar-benar memiliki daya tarik. Cara bicaranya menyenangkan,
senyumnya menawan, dan matanya ramah. Sandy tahu Hyun-Shik bertanya-tanya
kenapa ia mau begitu saja membantu Jung Tae-Woo, tapi ia pura-pura bodoh. Pada
awalnya Sandy memang agak ragu dengan tawaran Tae-Woo, tapi akhirnya rasa
penasarannyalah yang menang. Ia meyakinkan dirinya ini jalan yang tepat. Ini
mungkin kesempatan yang telah lama dinantinya untuk mendapat jawaban atas
pertanyaan-pertanyaan yang sudah lama menghantui….
Lagi pula menurutnya pekerjaan
yang ditawarkan kepadanya tidak susah. Ia hanya perlu difoto bersama Jung
Tae-Woo. Bukan masalah. Ia pasti bisamelakukannya. Ia sadar kesepakatan ini
akan membuatnya sering bertemu Jung Tae-Woo, tapi ini bukan masalah, toh ia
tidak merasakan apa-apa terhadap artis itu. Nilai tambah lain, kalau ia sering
bersama Jung Tae-Woo, ia akan tahu dan mengerti kenapa teman dekatnya juga
banyak wanita lain bisa tergila-gila pada pria itu.
“Baiklah,” katanya pada dirinya
sendiri. “Aku pasti bisa melakukannya. Ah, astaga! Aku lupa minta tanda tangan
Jung Tae-Woo untuk Young-Mi.”
Sandy merogoh tasnya untuk
mencari ponsel, tapi kemudian berhenti. Apakah sebaiknya aku tidak memberitahu
Young-Mi aku bertemu Tae-Woo tadi? Dia pasti kesal karena aku lupa meminta
tanda tangan lagi. Tapi ia pasti bakal jadi lebih kesal kalau tahu aku
menyembunyikan soal pertemuan ini…
Sandy melanjutkan mencari
ponselnya di tas tangannya dan menemukan baterai ponsel yang tadi ia lepas.
Mendadak ia jadi teringat Lee Jeong-Su tadi meneleponnya. Mudah-mudahan
Jeong-Su bisa mengerti kenapa ia tidak bisa menerima telepon tadi. Eh… tunggu
dulu, kalau dipikir-pikir lagi, kenapa ia harus merasa bersalah? Mana ada orang
yang bisa menjawab telepon kalau sedang berada dalam situasi seperti tadi? Lagi
pula sepanjang pengalamannya, kalau Lee Jeong-Su yang menelepon, pasti bukan
karena ada hal penting.
Kenapa Lee Jeong-Su masih terus
menghubunginya? Bukankah pria itu sendiri yang meminta putus hubungan? Orang
aneh!
Sandy
memasang baterai ponselnya kembali dan baru akan menghubungi Young-Mi ketika ia
teringat janjinya. Aah… benar juga, aku sudah berjanji pada Park Hyun-Shik ssi
tidak akan menceritakan masalah ini pada orang lain. Ah, bagaimana ini?
Yah… apa boleh buat…
Ia kembali memasukkan ponsel
itu ke tas tangannya, lalu ia mendongak menatap langit yang biru dan bergumam,
“Baiklah, Sandy. Semoga keputusanmu ini ada gunanya. Aja aja, fighting*!”
Sekarang ia harus pulang dan
tidur dulu untuk mengumpulkan tenaga. Ia sudah berjanji akan menemui kedua pria
itu nanti malam.
* Ayo, semangat!
Tiga
“SOON-HEE SSI, sebaiknya pinggiran topimu
diturunkan sedikit lagi. Wajahmu harus tertutup,” perintah Park Hyun-Shik.
Sandy bergumam tidak jelas,
menyerahkan ponsel yang dipegangnya kepada Jung Tae-Woo, lalu menarik turun
topi merahnya. “Kalau begini aku sendiri tidak bisa melihat apa-apa,” desahnya.
“Paman sebenarnya ada di mana? Dia sedang meneropong kita atau semacamnya?”
Ia dan Jung Tae-Woo sedang
berada di dalam mobil Jung Tae-Woo yang diparkir di lapangan parkir depan
gedung tempat Park Hyun-Shik bekerja. Saat itu pukul sepuluh malam dan suasana
di tempat parkir sepi sekali. Jung Tae-Woo yang mengenakan topi hitam dan
kacamata hitam duduk di balik kemudi, Sandy duduk di sampingnya, sementara Park
Hyun-Shik mengawasi mereka entah dari mana. Semua komunikasi dilakukan lewat
ponsel. Mereka sudah siap menjalankan tahap pertama rencana.
Jung Tae-Woo menempelkan ponsel
ke telinga dan berkata, “Sudah bisa dimulai.”
Ia menutup ponsel dan memandang
Sandy yang sedang merapikan kepang rambutnya. “Sekitar semenit lagi kita
keluar,” katanya pendek.
“Jadi kita hanya perlu keluar
dari mobil, bergaya sebentar, lalu masuk kembali ke mobil?” tanya Sandy
memastikan.
Jung Tae-Woo mengangguk. Ia
diam, lalu, “Nah, sepertinya Hyong sudah siap dengan kameranya. Kita
keluar sekarang.”
Mereka berdua keluar dari mobil
dan mulai berjalan berdampingan.
“Kenapa jauh begitu?” tanya
Jung Tae-Woo.
Sandy menoleh dan menyadari
Jung Tae-Woo sedang mengomentari jarak antara mereka berdua yang terlalu jauh.
“Kenapa? Kurasa ini sudah cukup dekat.” 32
“Orang-orang
tidak akan percaya aku punya hubungan khusus denganmu kalau kau berdiri sejauh
itu.”
Sandy berhenti berjalan dan
memutar tubuh menghadap Jung Tae-Woo. “Menurutku seperti ini juga sudah
lumayan. Kita tidak perlu sampai berpelukan supaya orang percaya kita punya
hubungan khusus, kan?”
Jung Tae-Woo tertawa pendek.
“Apanya yang lumayan? Tubuhmu kaku begitu dan jalanmu seperti robot.”
Sandy tetap diam.
Jung Tae-Woo balas menatapnya,
lalu berkata, “Kita harus melakukan sesuatu.”
Sandy terkejut ketika Jung
Tae-Woo melangkah mendekati dirinya. “Mau apa kau?” tanyanya, tapi saking
gugupnya ia tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri.
Jung Tae-Woo berdiri tepat di
depannya. Sandy baru menyadari betapa dirinya begitu pendek dibandingkan pria
itu. Kepalanya sampai harus mendongak kalau ia mau melihat wajah Jung Tae-Woo.
“Hei, Jung Tae-Woo ssi,
kau sebenarnya mau apa?” tanya Sandy sekali lagi ketika setelah beberapa saat
Jung Tae-Woo hanya berdiri diam tanpa melakukan apa-apa. Ia tidak bisa melihat
ekspresi Jung Tae-Woo dengan jelas karena laki-laki itu memakai kacamata hitam,
tapi Sandy bisa melihat bibir pria itu membentuk seulas senyum.
“Aku? Hanya memberikan pose
yang bagus untuk foto kita,” katanya santai, lalu ia mundur kembali.
Sandy mendengus pelan. “Lucu
sekali.”
“Misi selesai,” kata Sandy
ketika mereka sudah duduk kembali di dalam mobil. “Hhhh… lelahnya. Benar-benar
pekerjaan yang berat.”
Tae-Woo tersenyum kecil
mendengar gurauan Sandy. Ternyata gadis ini bisa bercanda juga. Tae-Woo yakin
sebenarnya Sandy orang yang ramah, meski saat ini gadis itu lebih sering
bersikap kaku dan menjaga jarak, bahkan terkadang cenderung dingin. Bagaimanapun
hal itu wajar saja mengingat mereka tidak terlalu saling mengenal.
“Aku merasa seperti sedang main
film,” Sandy menambahkan. “Mungkin seharusnya aku jadi aktris saja. Bagaimana
menurutmu?”
“Teruslah bermimpi,” sahut
Tae-Woo sambil menghidupkan mesin mobil.
Saat itu terdengar dering
ponsel. Mereka berdua serentak mencari ponsel mereka. Yang berdering ternyata
ponsel Tae-Woo.
“Sebaiknya kauganti nada dering
ponselmu,” gerutu Sandy sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku celana.
......
No comments:
Post a Comment